Sunday, July 30, 2017

MAKALAH PENGARUH JARAK TANAM TERHADA PPERTUMBUHAN JAGUNG

MAKALAH
TBT. PADI, KEDELAI, & JAGUNG
PENGARUH JARAK TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN
TANAMAN JAGUNG
O
L
E
H
             NAMA                                                       N I M
ANDRIANSYAH SIREGAR                          1109000212
IKA PERMANA                                                  1109000
RISNA MAYA SARI                                       1109000240
TITO PRATAMA                                             1109000249
 












TBT. PADI, KEDELAI, & JAGUNG
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA
M E D A N
2014
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb.
Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, yang telah memberikan kekuatan dan kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini disusun sedemikian rupa untuk memenuhi salah satu tugas TBT. Padi, Kedelai, & Jagung.
            Kami sadar bahwa kami hanyalah manusia biasa. Makalah ini pasti banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh kerena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman yang akan kami gunakan untuk pembuatan makalah yang akan datang supaya lebih baik lagi.
Semoga makalah ini memberi manfaat khususnya bagi aktivitas pendidikan dan umumnya bagi para pembaca.

Wassalamualaikum Wr.Wb


Medan, 13 Maret 2014










PENDAHULUAN
 Jagung (Zea mays.L) merupakan bahan pangan yang penting penghasil karbohidrat kedua setelah beras. Jagung juga digunakan sebagai bahan makanan dan bahan baku industri seperti, kertas, minyak, cat dan lain-lain. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa dengan pengaturan jarak tanam yang benar dan tapat disertai pengelolaan yang baik maka potensi hasil jagung dapat mencapai 4,50 ton/ha (Suprapto, 1986).
Di Indonesia rata-rata produksi tanaman jagung per hektar dinilai masih rendah yaitu sekitar 2,8 ton per ha. Sementara jika dibandingkan dengan negara-negara penghasil jagung di Asia seperti RRC 4,6 ton/ha, Korea Selatan 4,1 ton/ha dan Thailand 3,7 ton/ha. Rendahnya produksi jagung di Indonesia di pengaruhi oleh beberapa faktor penyebab antara lain, tingginya harga benih varietas unggul, petani belum memahami penggunaan pupuk secara tepat dan benar, minimnya permodalan serta penggunaan pestisida yang berlebihan pada areal pertanaman oleh pelaku usaha tani dapat mengakibatkan terjadinya resistensi hama terhadap pestisida, dan pada waktu yang sama keberadaan musuh alami hama di areal lahan pertanian terancam punah yang membawa dampak negatif yaitu terjadinya ledakan serangan hama, akibatnya dapat menurunkan hasil produksi pertanian (Suprapato dan Marzuki, 2002).
Berbagai pola pengaturan jarak tanam telah dilakukan guna mendapatkan produksi yang optimal. Penggunaan jarak tanam pada tanaman jagung dipandang perlu, karena untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman yang seragam, distribusi unsur hara yang merata, efektivitas penggunaan lahan, memudahkan pemeliharaan, menekan pada perkembangan hama dan penyakit juga untuk mengetahui berapa banyak benih yang diperlukan pada saat penanaman.
Penggunaan jarak tanam yang terlalu rapat antara daun sesama tanaman saling menutupi akibatnya pertumbuhan tanaman akan tinggi memanjang karena bersaing dalam mendapatkan cahaya sehingga akan menghambat proses fotosentesis dan produksi tanaman tidak optimal. Menurut Warisno (2002), Penggunaan jarak tanam jagung hibrida sebaiknya 50 x 20 cm dan 50 x 40 cm dengan dua benih per lubang. Jarak tanam yang ideal untuk tanaman jagung yaitu 50 x 60 cm. Sedangkan menurut Suprapto (1998), penggunaan jarak tanam yang baik pada tanaman jagung 50 x 40 cm dan 50 x 80 cm dengan satu tanaman. Sebaliknya, menurut Harjadi (1997), penggunaan jarak tanam yang terlalu lebar akan mengurangi efektivitas penggunaan lahan dan memberikan kesempatan pertumbuhan gulma.
Jarak tanam jagung untuk produksi biji umumnya menggunakan 75x25 cm (1 tanaman) atau 75x40 cm (2 tanaman). Jarak tanam yang sama juga diterapkan sebagian besar petani di Amerika (ISU, 2006). Lebih lanjut dijelaskan bahwa jarak tanam yang lebih rapat seringkali diterapkan untuk menekan pertumbuhan gulma, disamping hasil yang diperoleh tidak berbeda nyata dengan jarak tanam rekomendasi. Larson (2003) menyatakan bahwa jarak tanam dan penempatan benih adalah faktor yang sangat berpengaruh pada potensi hasil jagung.
Gulma juga menjadi penyebab hilangnya hasil produksi pertanian yang hampir setara dengan resiko serangan hama dan penyakit. Masalah serangan hama dan penyakit tanaman umumnya bersifat temporal. Sementara masalah yang ditimbulkan oleh gulma bersifat tetap dan berulang (Soekisman, 1983).















TINJAUAN PUSTAKA
PENELITIAN 1
Respon Pertumbuhan Tanaman Jagung (Zea Mays L.) dan Gulma Terhadap Berbagai Jarak Tanam
 Nurlaili
ü  K1 = 50 x 20 cm
ü  K2 = 50 x 40 cm
ü  K3 = 50 x 60 cm
ü  K4 = 50 x 80 cm
HASIL dan PEMBAHASAN
NO
PEUBAH
PERLAKUAN
KK
1
TINGGI TANAMAN
1,19 tn
8,72%
2
UMUR BERBUNGA
2,13 tn
9,66%
3
BERAT KERING TANAMAN
0,12 tn
4,59%
Keterangan :  tn = tidak berpengaruh nyata
KK = koefisien keragaman
  1. Tinggi Tanaman
Dari tabel didapatkan bahwa parameter tinggi tanaman jagung dari berbagai jarak tanam menunjukkan tidak nyata berpengaruh. Secara tabulasi hasil perlakuan K2 menunjukkan pertumbuhan tanaman tertinggi 72,96 cm sedangkan terendah pada perlakuan K3 66,30 cm.
  1. Umur Berbunga
Dengan pengaturan jarak tanam pada pertumbuhan tanaman jagung terhadap pertumbuhan gulma, hasil pemantauan semua perlakuan menunjukkan berpengaruh tidak nyata terhadap umur berbunga pada tanaman jagung. Secara tabulasi hasil perlakuan K1 merupakan perlakuan terlama umur berbunga (50,72 hst) dan tercepat pada perlakuan K3 (47,96 hst).
  1. Berat Kering Tanaman
Berdasarkan hasil analisa sidik ragam pada pengaturan jarak tanam dari empat perlakuan menunjukkan tidak berpengaruh nyata terhadap berat kering tanaman hasil penimbangan. Secara tabulasi tergambar bahwa pada perlakuan K3 menunjukan hasil tertinggi (148,044 gram) sedangkan hasil terendah K2 (138,378 gram).
Hasil olah data respon pertumbuhan tanaman jagung (Zea mays. L) dan gulma terhadap berbagai jarak tanam dari beberapa pengukuran parameter yang diamati baik pada parameter peubah pertumbuhan tanaman jagung maupun parameter peubah pertumbuhan gulma, hasil yang didapat secara tabulasi maupun Analisis sidik ragam tidak terjadi pengaruh yang nyata pada penentuan masing-masing jarak tanam baik pada jarak tanam 50 x 20 cm, 50 x 40 cm, 50 x 60 cm dan 50 x 80 cm. Semua peubah yang diamati pada pertumbuhan tanaman jagung yaitu tinggi tanaman, umur berbunga dan berat kering tanaman pada semua tingkat perlakuan jarak tanam tidak terjadi pengaruh yang nyata ini artinya respon tanaman terhadap semua perlakuan adalah sama. Minimalnya ketersediaan air untuk melakukan penyiraman berakibat tidak optimalnya pertumbuhan tanaman jagung, dimana unsur hara yang tersedia di dalam tanah proses penyerapan terganggu sehingga proses fotosintesis menjadi terhambat dan asimilat yang tersedia di dalam tubuh tanaman tidak tercukupi, secara fisiologis tampak pertumbuhan tanaman jagung terhambat merana dan kerdil.
PENELITIAN 2
Pengaruh Pengaturan Jarak Tanam dan Defoliasi pada Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jagung Manis (Zea Mays saccharata Sturt).
Dinar Parastiwi
 Penelitian ini dilaksanakan di Dusun Dadaptulis, Desa Dadaprejo, Kecamatan Junrejo Kota Batu dengan jenis tanah Inceptisol. Dilaksanakan pada bulan Mei 2007 sampai dengan Juni 2007. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Petak Terbagi (RPT) dan diulang 3 kali. Perlakuan jarak tanam diletakkan sebagai petak utama (J) yang terdiri dari 3 macam yaitu (J1) = Jarak tanam 75 x 20, (J2) = Jarak tanam 60 x 25, dan (J3) = Jarak tanam 50 x 30. Defoliasi (D) ditempatkan sebagai anak petak dan terdiri dari 3 macam, yaitu (D0) = Tanpa defoliasi, (D1) = Defoliasi 2 helai daun bawah, (D2) = Defoliasi 4 helai daun bawah. Pengamatan dilakukan secara destruktif pada saat tanaman berumur 15, 23, 31, 39, 47 dan 55 hst serta panen. Pengamatan meliputi komponen pertumbuhan dan hasil. Komponen pertumbuhan meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun, bobot kering total tanaman. Komponen hasil meliputi jumlah tongkol/tanaman, bobot tongkol kupas/tanaman, bobot tongkol berklobot/tanaman, panjang tongkol kupas, diameter tongkol kupas, hasil tongkol ha-1. Analisis pertumbuhan tanaman meliputi laju pertumbuhan relatif (LPR) dan indeks panen (IP). Pengamatan Penunjang meliputi intensitas cahaya matahari. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam (uji F) dengan kepercayaan 5%. Dan untuk penentuan perbedaan antar perlakuan maka dilakukan uji BNT pada kepercayaan 5%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara perlakuan jarak tanam dan defoliasi daun pada parameter pengamatan luas daun dan indeks luas daun. Tanaman dengan perlakuan jarak tanam 50 cm x 30 cm memperlihatkan hasil yang berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan jarak tanam 60 cm x 25 cm dan jarak tanam 75 cm x 20 cm, terlihat pada parameter luas daun, indeks luas daun, laju pertumbuhan relatif. Tanaman yang di defoliasi 4 daun bawah berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan tanpa defoliasi dan defoliasi 2 daun bawah. Terlihat pada parameter bobot kering total tanaman, bobot tongkol berkelobot, bobot tongkol kupas dan hasil.
PENELITIAN 3
Pengaruh Jarak Tanam dan Jenis Pupuk terhadap Pertumbuhan, Produksi Silase dan Biji Pipilan Jagung Hibrida pada Inceptisols Dramaga
I Gusti Made Subiksa
Penelitian dilakukan pada tanah Inceptisols di Desa Cikarawang Dramaga Bogor, tekstur liat dan reaksi tanah agak masam (pH 5,6). Penelitian dilakukan pada MH 2010/2011 menggunakan tanaman indikator jagung varietas P-21. Penelitian menggunakan rancangan split plot dengan 3 ulangan.
Petak utama adalah:
S1 = jarak tanam konvensional 75x25 cm (populasi 53 ribu tanaman ha-1).
S2 = jarak tanam rapat 60x20 cm (populasi 83 ribu tanaman ha-1).


Anak petak adalah:
J1 = pupuk tunggal NPK dengan dosis 350 kg urea, 170 kg SP-36, dan 150 kg KCl ha-1.
J2 = perlakuan J-1 ditambah 1,5 ton pukan ha-1;
J3 = pupuk NPK majemuk 400 kg ha-1;
J4 = perlakuan J-3 ditambah 1,5 ton pukan ha-1.
Pertumbuhan tanaman dan produksi silase
Pertumbuhan tanaman jagung menunjukkan bahwa kerapatan populasi mempengaruhi tinggi tanaman. Pada tingkat populasi 56 ribu tanaman ha-1 (jarak tanam 75x25 cm), tinggi tanaman rata-rata berkisar antara 217-238 cm. Sedangkan pada jarak tanam yang lebih rapat (60x20 cm) tinggi tanaman menjadi lebih tinggi yaitu antara 237- 247 cm. Hal ini menunjukkan bahwa pada jarak tanam yang lebih rapat, persaingan tiap individu untuk memperoleh sinar matahari semakin tinggi sehingga tanaman mengalami etiolasi.
Pemupukan dengan NPK majemuk cenderung lebih berpengaruh terhadap tinggi tanaman dibandingkan memupuk dengan NPK tunggal. Pengaruh NPK majemuk tampak lebih jelas pada tingkat kerapatan tanaman lebih tinggi. Pupuk kandang tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi tanaman, baik yang dikombinasikan dengan NPK tunggal maupun NPK majemuk.
Pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan tanaman jagung dan produksi silase.
Perlakuan  Tinggi tanaman 56 HST (cm)   Jumlah daun 56 HST      Produksi silase (t ha-1)
S1J1                            217 b                                 12.4 a                              43.4 b
S1J2                             238 a                                 12.1 a                              47.1 a
S1J3                             235 a                                 12.8 a                             44.7 ab
S1J4                             233 a                                 11.9 a                              49.8 a
Rerata S-1                 230,75 A                             12,30 A                           46,25 B
S2J1                             241 a                                 12.5 a                              59.1 a
S2J2                             237 a                                 11.8 a                              60.2 a
S2J3                             245 a                                 12.2 a                              61.9 a
S2J4                             247 a                                 12.4 a                              62.7 a
Rerata S-2                 242,50 A                             12,23 A                           60,98 A
Panen untuk produksi silase dilakukan saat tanaman jagung mencapai fase pengisian biji. Hasil panen untuk silase menunjukkan bahwa perlakuan jarak tanam 60x20 cm menghasilkan jumlah silase lebih tinggi dibandingkan perlakuan jarak tanam 75x25 cm. Pada jarak tanam 75x25 cm, produksi silase berkisar antara 43,4-49,8 t ha-1, sedang pada jarak tanam 60x20 cm produksi silase segar mencapai 59,1-62,7 t ha-1. Namun hasil silase yang dicapai ini masih lebih rendah dibandingkan dengan produksi silase dari jagung Sukmaraga yang bisa mencapai 71 t ha-1 (Mejaya et al. 2005). Pemupukan dengan NPK majemuk Ponska cenderung menghasilkan silase yang lebih tinggi dibandingkan menggunakan NPK tunggal yang di-blending. Hal ini diduga karena unsur N pada NPK majemuk lepas lebih lambat dibandingkan dengan unsur N pada urea. Dengan demikian unsur N pada NPK majemuk bisa bertahan lebih lama dan tercuci lebih sedikit dibandingkan N pada urea.
Pemupukan dengan pupuk kandang memiliki pengaruh yang nyata terhadap tanaman jagung yang ditanam dengan jarak tanam konvensional (75x25 cm). Sedangkan pada jarak tanam yang rapat (60x20 cm), pengaruh pupuk kandang tidak berbeda nyata dibandingkan tanpa pupuk kandang.
Produksi jagung
Data rata-rata dari hasil pengamatan parameter produksi jagung ditampilkan pada Tabel 4. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jarak tanam berpengaruh nyata terhadap ukuran tongkol jagung. Panjang tongkol jagung lebih pendek pada jarak tanaman rapat (60x20 cm) dibandingkan dengan jarak tanam rekomendasi (75x25 cm). Diameter tongkol dan berat tongkol juga mengalami penurunan yang nyata pada jarak tanam 60x20 cm.
Menurunnya panjang, diameter, dan berat tongkol diduga disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain karena proses fotosintesis tidak optimal, tanaman tidak tumbuh normal karena etiolasi, kompetisi mendapatkan unsur hara yang lebih tinggi dan kemungkinan karena kegagalan penyerbukan akibat terhalang daun yang terlalu lebat. Pupuk NPK majemuk Ponska tidak berpengaruh nyata terhadap diameter tongkol, tetapi cenderung meningkatkan panjang tongkol dibandingkan NPK tunggal, khususnya pada tanaman jagung yang ditanam dengan jarak 75x25 cm. Rata-rata berat tongkol tidak dipengaruhi secara nyata oleh jenis pupuk NPK. Namun demikian ada kecenderungan perlakuan dengan NPK majemuk memiliki rata-rata bobot tongkol lebih tinggi dibandingkan dengan NPK tunggal.
Jarak tanam tidak berpengaruh terhadap produksi biji pipilan kering. Populasi yang tinggi dengan jarak tanam yang rapat (60x20 cm) tidak serta merta meningkatkan hasil jagung pipilan dibandingkan dengan jarak tanam yang direkomendasikan. Hal ini disebabkan karena jarak tanam yang rapat, persaingan mendapatkan sinar matahari dan unsur hara menjadi sangat ketat. Walaupun populasi lebih banyak, namun tongkol yang terbentuk lebih pendek dan lebih kecil, sehingga pada akhirnya produksi tidak optimal.
Pada perlakuan jarak tanam 75x25 cm rata-rata hasil yang diperoleh berkisar antara 6,85- 7,50 t ha-1, sedangkan dengan jarak tanam yang rapat hasil jagung pipilan kering mencapai 6,83-7,33 t ha-1. Hal ini berarti bahwa tanaman jagung yang ditanam rapat untuk produksi silase, sewaktu-waktu dapat dikonversi menjadi pertanaman untuk produksi biji tanpa khawatir produksi biji jagung pipilan. Hal ini penting mengingat harga silase bisa berfluktuasi tajam karena harga ditetapkan oleh pembeli dari luar negeri.
Pengaruh perlakuan terhadap parameter komponen hasil.
Perlakuan    Panjang tongkol    Diameter tongkol    Berat tongkol       Produksi biji
S1J1                   20,75 b                    5,21 a                   193 a                  6.850 b
S1J2                   22,03 ab                   5,27 a                   208 a                 7.397 ab
S1J3                    24,75 a                    5,08 a                   205 a                 7.420 ab
S1J4                   23,94 ab                   5,31 a                   216 a                  7.503 a
Rerata S-1          22,87 A                   5,22 A                205,50 A               7.29 A
S2J1                    17,37 a                    4,97 a                   168 a                  6.830 a
S2J2                    18,10 a                    4,93 a                   182 a                  7.327 a
S2J3                    18,60 a                    4,65 a                   180 a                  7.177 a
S2J4                    18,53 a                    4,85 a                   169 a                  7.300 a
Rerata S-2          18,15 B                   4,85 A                174,75 B               7.16 A

Pemupukan dengan NPK majemuk Ponska secara umum cenderung menghasilkan biji jagung pipilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan NPK tunggal. Tanaman yang ditanam dengan jarak konvensional 75x25 cm, peningkatan hasilnya lebih baik dibandingkan tanaman dengan jarak tanam yang rapat.

MAKALAH WERENG BATANG COKLAT

MAKALAH PRAKTIKUM
DASAR-DASAR PERLINDUNGAN TANAMAN
Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens)

OLEH

ALISTAR SPAYREST P
NIM : 130900349
KELOMPOK : 1 (SATU)
PRODI : AGR0TEKNOLOGI









PRAKTIKUM DASAR-DASAR PERLINDUNGAN TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA
MEDAN
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kita berbagai macam nikmat, sehingga aktifitas yang kita jalani ini akan selalu membawa keberkahan, baik kehidupan dialam dunia ini, lebih lagi pada kehidupan akhirat kelak, sehingga semua cita-cita serta harapan yang kita inginkan menjadi lebih mudah dan penuh manfaat.
Saya menyadari sekali, dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan serta banyak kekurangannya, baik dari segi tata bahasa maupun di dalam hal lainnya, untuk itu besar harapan saya jika ada keritik dan saran yang membangun untuk lebih menyempurnakan makalah-makalah saya di lain waktu.
Semoga makalah “ wereng batang coklat” ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.
Kurang lebihnya penulis ucapkan terima kasih.



Medan, April 2014
Penyusun



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………….
DAFTAR ISI…………………………………………………………………...
BAB I
PENDAHULUAN……………………………………………………………..
Latar Belakang…………………………………………………………………
BAB II
PEMBAHASAN………………………………………………………………
Wereng Batang Coklat Sulit Di Basmit………………………………………….
Gejala serangan Wereng Batang Coklat………………………………………
Usaha Pencegahan……………………………………………………………..
Usaha Pengendian……………………………………………………………..
BAB III
PENUTUP…………………………………………………………………….
Kesimpulan…………………………………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………



BAB I
PENDAHULUAN
I.1.Latar Belakang
Wereng coklat (Nilaparvata lugens) adalah salah satu hama padi yang paling berbahaya dan merugikan, terutama di Asia Tenggara dan Asia Timur. Serangga kecil ini menghisap cairan tumbuhan dan sekaligus juga menyebarkan beberapa virus (terutama reovirus) yang menyebabkan penyakit tungro). Kumbang lembing memakan wereng dan anaknya sedangkan sejumlah lebah berperan sebagai pemangsa telurnya. Pemangsa alami ini dapat mengendalikan populasi wereng di bawah batas ambang populasi wereng terutama musim tanam dengan jumlah hama sedikit sehingga mencegah berjangkitnya virus utama.
Wereng batang coklat, sebagaimana jenis wereng lainnya, menjadi parasit dengan menghisap cairan tumbuhan sehingga mengakibatkan perkembangan tumbuhan menjadi terganggu bahkan mati. Selain itu, wereng batang coklat  (Nilaparvata lugens) juga menjadi vektor (organisme penyebar penyakit) bagi penularan sejumlah penyakit tumbuhan yang diakibatkan virus serta menyebabkan tungro.
Ciri ciri tanaman padi yang diserang hama wereng batang cokelat adalah warnanya berubah menjadi kekuningan, pertumbuhan terhambat dan tanaman menjadi kerdil. Pada serangan yang parah keseluruhan tanaman padi menjadi kering dan mati, perkembangan akar merana dan bagian bawah tanaman yang terserang menjadi terlapisi oleh jamur.
Hama wereng batang coklat hidup pada pangkal batang padi. Binatang ini mempunyai siklus hidup antara 3-4 minggu yang dimulai dari telur (selama 7-10 hari), Nimfa (8-17 hari) dan Imago (18-28 hari). Saat menjadi nimfa dan imago inilah wereng batang coklat menghisap cairan dari batang padi.
BAB II
PEMBAHASAN

 Wereng menjadi hama padi yang paling berbahaya dan paling sulit dikendalikan apalagi dibasmi. Sulitnya memberantas hama padi ini lantaran wereng batang coklat mempunyai daya perkembangbiakan yang cepat dan cepat menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan.
Tidak jarang, hama wereng batang coklat (Nilaparvata lugens) tahan terhadap berbagai insektisida dan pestisida, sehingga sering kali para petani memberikan dosis pestisida yang berlipat ganda bahkan dengan mengoplos beberapa merk pestisida sekaligus. Dan semua usaha pengendalian dan pengobatan dengan menggunakan pestisida itu tidak pernah berhasil tuntas membasmi wereng batang coklat.
Penggunaan varietas bibit padi yang tahan hama juga tidak dapat bertahan lama dan terus menerus. Sekali dua kali musim tanam memang varietas padi tahan wereng mampu melawan, namun untuk selanjutnya varietas tersebutpun musti takluk oleh wereng batang coklat (Nilaparvata lugens).
 Dalam kondisi normal, alam selalu mampu menjaga keseimbangan. Keseimbangan alam selalu menjaga agar tidak pernah ada sebuah spesies yang membludak populasi karena kan dikendalikan oleh spesies lainnya. Populasi tikus dikendalikan oleh ular dan elang, populasi rusa dikendalikan oleh harimau. Demikian juga populasi berbagai jenis hama lainnya tak terkecuali wereng batang coklat.
Predator-predator yang secara alami menjadi pemangsa dan mengendalikan populasi wereng batang coklat (Nilaparvata lugens) antara lain beberapa jenis laba-laba, kumbang, belalang, kepik, hingga capung, seperti:
·         Laba-laba serigala (Pardosa pseudoannulata)
·         Laba-laba bermata jalang (Oxyopes javanus)
·         Laba-laba berahang empat (Tetragnatha maxillosa).
·         Kepik permukaan air (Microvellia douglasi)
·         Kepik mirid (Cyrtorhinus lividipennis)
·         Kumbang stacfilinea (Paederus fuscipes)
·         Kumbang koksinelid (Synharmonia octomaculata)
·         Kumbang tanah atau kumbang karabid (Ophionea nigrofasciata)
·         Belalang bertanduk panjang (Conocephalous longipennis)
·         Capung kecil atau kinjeng dom (Agriocnemis spp.)
Sayangnya spesies-spesies yang secara alami mempunyai kemampuan membasmi dan mengendalikan hama wereng batang coklat tersebut banyak yang telah sirna akibat pola tanam dan pengelolaan pertanian yang kurang ramah lingkungan.
Wereng coklat adalah hama yang mampu beradaptasi dengan berbagai lingkungan pada waktu yang cepat bahkan bisa menghasilkan populasi baru (biotipe) dalam waktu singkat. Wereng coklat juga mampu melemahkan kerja insektisida yang dianggap ampuh mengatasi hama ini sebelumnya. Dengan sifat-sifat yang dimilikinya, hingga kini tidak mudah untuk mengatasinya.
Pola perkembangan hama ini bersifat Biological Clock, artinya, wereng coklat dapat berkembang biak dan merusak tanaman padi disebabkan lingkungan yang cocok, baik dimusim hujan maupun musim kemarau. Demikian diungkapkan oleh Prof. Dr. Ir. Baehaki Suherlan Effendi, peneliti dari BBP Padi, pada Elfa Hermawan dari Majalah Agrotek, dan para peserta  seminar yang diselenggarakan Puslitbang Tanaman Pangan beberapa waktu lalu.
Penanaman padi yang terus menerus dengan menggunakan varietas yang sama dengan memiliki gen tahan tunggal juga dituding dapat mempercepat timbulnya biotipe baru wereng coklat. Ini terbukti, ketika dilepasnya varietas “Pelita I” pada tahun 1971, pada tahun 1972 muncul wereng coklat berubah menjadi wereng coklat  Biotipe 1.
Untuk menghadapi biotipe 1 lalu diperkenalkan varietas “IR26” pada tahun 1975. Namun  dalam waktu setahun terjadi ledakan hebat untuk hama ini di beberapa daerah sentra produksi padi. Hal ini menandakan  berubahnya wereng coklat  Biotipe 1 menjadi  wereng coklat Biotipe 2. Pada tahun 1981 pun,  wereng coklat Biotipe 2 berubah menjadi wereng coklat Biotipe 3.
“Wereng coklat Biotipe 3 ternyata memakan waktu 25 tahun untuk mengalami perubahan menjadi wereng coklat Biotipe 4, kini tipe 4 mulai terdektesi di wilayah Asahan Sumatera  Utara,” ungkap Baehaki. Keberadaan wereng coklat Biotipe 3 terbilang lama untuk beradaptasi. Hal ini, lanjut Baehaki, disebabkan varietas “IR64″ merupakan varietas durable resistance yang mampu menghambat perubahan wereng coklat ke tipe baru lagi.
Untuk mengurangi perusakan yang disebabkan oleh wereng coklat, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh  para petani dan penyuluh. “Wereng coklat pada 2 bulan pertama berkembangbiaknya sangat rendah, akan tetapi pada hari ke 90 dia bisa mencapai 12.000 ekor,” ungkap Baehaki.
Oleh karena itu mereka  harus jeli dalam memperhatikan daerah persawahannya. Bahkan mereka harus rajin untuk mengkontrol padi yang ada. Selain itu pemilihan varietas yang tahan wereng coklat pun dapat membantu petani. Dalam menggunakan obat pun jangan sembarangan. Tentu saja para petani tidak bisa melakukan itu sendirian, diperlukan pengawasan oleh para penyuluh. Secara langsung wereng coklat akan menghisap cairan sel tanaman padi sehingga tanaman menjadi kering dan akhirnya mati.
Hama Padi yang Sulit Dibasmi.


 Wereng menjadi hama padi yang paling berbahaya dan paling sulit dikendalikan apalagi dibasmi. Sulitnya memberantas hama padi ini lantaran wereng batang coklat mempunyai daya perkembangbiakan yang cepat dan cepat menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan.
http://alamendah.files.wordpress.com/2010/06/wereng-menyerang-padi.gif?w=344&h=400
Batang padi yang diserang wereng batang coklat (gambar:ricehoppers.net)
Tidak jarang, hama wereng batang coklat (Nilaparvata lugens) tahan terhadap berbagai insektisida dan pestisida, sehingga sering kali para petani memberikan dosis pestisida yang berlipat ganda bahkan dengan mengoplos beberapa merk pestisida sekaligus. Dan semua usaha pengendalian dan pengobatan dengan menggunakan pestisida itu tidak pernah berhasil tuntas membasmi wereng batang coklat.
Penggunaan varietas bibit padi yang tahan hama juga tidak dapat bertahan lama dan terus menerus. Sekali dua kali musim tanam memang varietas padi tahan wereng mampu melawan, namun untuk selanjutnya varietas tersebutpun musti takluk oleh wereng batang coklat (Nilaparvata lugens).
Musuh Alami Wereng Sirna. Dalam kondisi normal, alam selalu mampu menjaga keseimbangan. Keseimbangan alam selalu menjaga agar tidak pernah ada sebuah spesies yang membludak populasi karena kan dikendalikan oleh spesies lainnya. Populasi tikus dikendalikan oleh ular dan elang, populasi rusa dikendalikan oleh harimau. Demikian juga populasi berbagai jenis hama lainnya tak terkecuali wereng batang coklat.
A.Morfologi
Nilaparvata lugens berkembang dengan metamorfosis tidak sempurna yang dalam siklus hidupnya terdapat stadium telur, nimfa dan dewasa. Telur dari N. lugens berbentuk lonjong berwarna putih dengan panjang 1,3 mm. Telur-telur ini diletakkan berkelompok seperti sisiran pisang di dalam jaringan pelepah daun yang menempel pada batang. Nimfa wereng cokelat terdiri dari 5 instar yang dapat dibedakan dari ukuran tubuh dan sayapnya. Nimfa instar pertama berwarna putih keabu-abuan dengan panjang 0,6 mm, sedangkan instar kelima berwarna cokelat dengan panjang 2,0 mm. Perubahan warna tubuh dari putih keabu-abuan lalu menjadi cokelat terjadi secara bertahap sesuai dengan perkembangan instar. (Harahap & Tjahjono 1997).
Imago Nilaparvata lugens mempunyai 2 bentuk ukuran sayap yaitu makroptera (bentuk yang bersayap panjang) dan brakhiptera (bentuk yang bersayap pendek). Dimorfisme sayap ini berhubungan dengan kepadatan populasi yang terkait dengan persediaan makanannya (Kalshoven 1981). Warna tubuh fase imagonya adalah cokelat kekuning kuningan sampai cokelat tua. Panjang tubuh imago betina 3-4 mm dan imago jantan 2-3 mm. Imago betina mempunyai abdomen yang lebih gemuk daripada imago jantan (Harahap & Tjahjono 1997).

            Salah satu hama utama yang menyerang tanaman padi adalah hama wereng coklat (Nilaparvata lugens). Wereng coklat dapat berkembang biak dan menyebar dengan cepat sehingga keberadaannya sangat ditakuti oleh petani.
            Hama ini termasuk kedalam ordo hemiptera yang mengalami metamorphosis paurometabola (telur-nimfa-imago) sehingga fase merusak berada pada fase nimfa dan imagonya. Tipe alat mulutnya adalah menusuk menghisap (haustelata).
                Dalam masa perkembangannya, wereng coklat dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu makroptera dan brakhiptera. Makroptera adalah wereng coklat yang memiliki sayap panjang. Wereng coklat ini dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dengan terbang menggunakan sayapnya tersebut. Sedangkan brakhiptera adalah wereng coklat yang bersayap pendek. Wereng coklat ini mempunyai kemampuan bereproduksi yang tinggi. Jenis wereng coklat brakhiptera dapat berubah menjadi makroptera apabila populasi wereng coklat pada suatu pertanaman sudah terlalu banyak
                Bagian tanaman padi yang diserang oleh wereng coklat adalah bagian batang padi, dengan cara menghisapnya. Dampak dari serangan hama wereng coklat ini dapat dirasakan secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dapat menyebabkan hopperburn. Hopperburnadalah gejala yang timbul pada tanaman padi yang terserang wereng coklat dengan ciri tanaman menjadi kering seperti terbakar dan akhirnya mati. Secara tidak langsung wereng coklat ini dapat berperan sebagai vector penyakit kerdil hampa dan kerdil rumput. Kerdil hampa adalah penyakit pada tanaman padi dengan gejala tidak terisinya malai. Sedangkan kerdil rumput merupakan penyakit lanjutan dari penyakit kerdil hampa. Ciri khas dari penyakit kerdil rumput ini adalah selain malai tidak terbentuk, tanaman padi tumbuh dan berkembang menyerupai rumput ilalang.
            Pada skala serangan yang tinggi, hama wereng coklat dapat menurunkan produktivitas padi dan dapat menurunkan pendapatan para petani padi. Tidak hanya itu, dampak dari serangan ini juga dapat mengurangi ketersedian pasok beras di pasaran.
            Mengingat dampak dari serangan yang merugikan petani padi maka perlu dilakukan pengendalian terhadap hama wereng coklat tersebut. Ada banyak teknik pengendalian yang dapat dilakukan untuk mengendalikan hama ini antara lain, pengendalian kultur teknis, hayati, kimiawi dan menanam tanaman yang tahan hama. Namun dalam pembahasan makalah ini kami hanya membahas teknik pengendalian secara kimiawi.
            Pengendalian secara kimiawi biasanya identik dengan pengendalian dengan menggunakan zat kimia (Pestisida). Pengendalian hama ini sering dilakukan oleh petani. Oleh karena  itu pengendalaian hama secara kimiawi sering dimasukkan ke dalam langkah pemerantasan hama dan penyakit.
Seiring berkembangnya metode pengendalian hama, ada beberapa macam pestisida, yakni : fungisida, insektisida, herbisida, nematisida, akarisida, ovarisida, bakterisida,larvasida, dan lain-lain.
            Salah satu cara pengendalian hama wereng coklat secara kimiawi adalah dengan menggunakan insektisida. Beberapa jenis insektisida yang spesialis untuk mengendalikan hama wereng coklat ini:
1.    Bahan aktif Buprofezin. Biasanya dengan nama dagang Applaud. Dengan formulasi EC, WP dan F insektisida ini mempunyai cara kerja yang spesifik yaitu menghambat pergantian kulit pada hama wereng coklat.
2.    Bahan aktif Imidakloprid. Dipasaran dijual dengan nama bermacam-macam diantaranya Confidor, Winder, Imidor, Dagger dan masih banyak lagi insektisida yang beredar dengan bahan aktif imidakloprid ini.
3.    Bahan aktif BBMC. Dijual dengan merek dagang Bassa, Baycarb, Dharmabas, Hopsin, Kiltop dan lain-lain. Cara kerja insektisida ini adalah kontak. Walaupun harganya murah namun dalam penggunaannya harus dengan konsentrasi yang besar sekitar 2-4 ml/ liter.
4.    Bahan aktif MIPC. Dipasaran biasanya dikenal dengan nama Mipcin, Mipcindo, Mipcinta, Micarb dan lain-lain. Sebenarnya MIPC ini masih satu golongan dengan BBMC yaitu kategori golongan Karbamat. Cara kerja kontak dan efikasi dalam menendalikan hama wereng coklat masih diatas BBMC.
5.    Bahan aktif Fipronil. Insektisida ini biasa kita kenal dengan nama Regent. Dengan formulasi SC regent mampu mengendalikan hama wereng coklat dengan cara sistemik. Formulasi terbaru regent WDG (sacset) ternyata lebih ampuh.
6.    Bahan aktif klorantraniliprol dan tiametoksam. Merupakan insektisida generasi terbaru yang memiliki spektrum luas untuk mengendalkan beberapa hama pada tanaman padi. Bahan aktif ini biasa kita kenal dengan nama dagang Virtako.
7.    Insektisida organik. Insektisida ini sangat ramah lingkungan dengan bahan baku bisa kita dapatkan melimpah disekitar kita. Ada beberapa kelemahan dan kelebihan Insektisida organik. Contoh insektisida organik untuk mengendalikan hama wereng adalah daun sirsak.
Kebanyakan para petani padi menggunakan insektisida dengan merek virtako. Cara pengendalian hama wereng coklat dengan virtako sangat mudah diterapkan oleh petani. Cukup melakukan penyemprotan dengan dosis dosis 150 ml/ha dengan volume semprot sekurang-kurangnya 300-400 liter perhektar atau kira-kira 20-27 tangki perhektar untuk tangki semprot ukuran 15 liter. Untuk mencapai hasil yang optimal volume semprot tidak boleh kurang dari 20 tangki perhektar karena walaupun virtako bekerja secara sistemik tetap saja diperlukan kemerataan penyemprotan pada tanaman padi untuk mendapatkan hasil yang memuaskan.
Penyemprotan dilakukan bila di lahan sawah mulai terlihat gejala kemunculan wereng coklatSetelah itu, secara berturut-turut dilakukan penyemprotan lagi tiap 2 minggu sekali. Untuk kondisi serangan berat, penyemprotan perlu dilakukan sekurang-kurangnya tiap 10 hari sekali.
Meskipun pemakaian insektisida dapat dilakukan dengan mudah dan langsung dapat menanggulangi hama, insektisida mempunyai dampak negatif. Adapun dampak negatifnya yakni :
1.    Hama menjadi kebal/resisten
Apabila pemakaian pestisida yang terus menerus, dapat menyebabkan wereng cokelat menjadi kebal atau resisten terhadap jenis insektisida tersebut. Sehingga dapat memicu ledakan hama.
2.    Terbunuhnya musuh alami
Seperti yang kita ketahui, saat menyemprotkan insektisida memungkinkan predator alami dari wereng coklat ikut terbunuh. Hal ini menyebabkan punahnya musuh alami dan hama wereng coklat berkembang biak dengan pesat.
3.    Terbunuhnya makhluk bukan sasaran
Berbagai jenis makhluk hidup lainnya seperti serangga penyerbuk, saprofit, dan penghuni tanah, ikan, cacing tanah, katak, belut, burung, dan lain-lain ikut mati setelah terkena inseksida tersebut.
4. Pencemaran lingkungan hidup
Air, tanah, dan udara ikut pula tercemar oleh pestisida. Beberapa pestisida dapat mengalami biodegradasi, dirombak secara biologis dalam tanah dan air.
5. Berbahaya bagi manusia
Penggunaan pestisida yang kurang hati-hati dan mencelakakan si pemakai. keracunan melalui mulut dan kulit sering terjadi, sehingga membahayakan.




BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Wereng coklat (Nilaparvata lugens) adalah salah satu hama padi yang paling berbahaya dan merugikan, terutama di Asia Tenggara dan Asia Timur. Serangga kecil ini menghisap cairan tumbuhan dan sekaligus juga menyebarkan beberapa virus (terutama reovirus) yang menyebabkan penyakit tungro). Kumbang lembing memakan wereng dan anaknya sedangkan sejumlah lebah berperan sebagai pemangsa telurnya. Pemangsa alami ini dapat mengendalikan populasi wereng di bawah batas ambang populasi wereng terutama musim tanam dengan jumlah hama sedikit sehingga mencegah berjangkitnya virus utama.
Tidak jarang, hama wereng batang coklat (Nilaparvata lugens) tahan terhadap berbagai insektisida dan pestisida, sehingga sering kali para petani memberikan dosis pestisida yang berlipat ganda bahkan dengan mengoplos beberapa merk pestisida sekaligus. Dan semua usaha pengendalian dan pengobatan dengan menggunakan pestisida itu tidak pernah berhasil tuntas membasmi wereng batang coklat.
Penggunaan varietas bibit padi yang tahan ham



DAFTAR PUSTAKA
Djafaruddin. 1996. Dasar – dasar Perlindungan Tanaman. Jakarta: Bumi Aksara.
Grist D. H. 1960. Rice Formerly Agricultural Economist, Colonial Agricultural
            Service, Malaya. Longmans Green and Co Ltd : London.
            Harahap IS, Tjahjono B. 1988. Pengendalian Hama Penyakit Padi. Jakarta: Penebar Swadaya.
            (http://www.warintek.ristek.go.id., 2008).
            Luh B. S. 1991. Rice Production. Volume I. Published by Van Nostrand Reinhold, New York.
            Tobing, M.T, Opor, G, Sabar, G dan R. K. Damanik, 1995. Agronomi Tanaman Makanan. Medan: USU Press.
            Suharno, 2005. Dinas Pertanian Provinsi DIY. http://www. distanpemda-diy.go.id. [28 Februari 2008].
            Surachman & Suryanto. 1997. Hama Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan. Yogyakarta: Konisius.